Ki Hadjar Dewantara mengajarkan sebaiknya seorang pemimpin termasuk guru memiliki perilaku Ing Ngarsa Sung Tuladha ketika di depan hendaklah memberi contoh yang baik, Ing Madya Mangun Karsa ketika di tengah hendaklah memberikan dorongan atau semangat yang baik, dan Tut Wuri Handayani ketika dibelakang hendaklan terus memantau apa yang sedang terjadi atau memberikan dorongan daya kekuatan.
Ketiga ajaran Ki Hadjar Dewantara tersebut sangat populer di Indonesia. Hal menarik untuk
direnungi adalah implementasi ketiga ajaran tersebut dalam kehidupan nyata seorang pendidik. Apakah kita benar-benar telah mengimplementasikan ketiga ajaran tersebut dalam pekerjaan kita sebagai seorang pendidik?
direnungi adalah implementasi ketiga ajaran tersebut dalam kehidupan nyata seorang pendidik. Apakah kita benar-benar telah mengimplementasikan ketiga ajaran tersebut dalam pekerjaan kita sebagai seorang pendidik?
Belakangan baru kita sadar bahwa sosok guru itu tidak hanya
menjadikan siswa cendekia (tajam pikiran, cerdas atau pandai) tetapi
juga berkarakter baik ( berbudi pekerti, berakhlaqul karimah, jujur
dsj). Fungsionalitas guru mestinya tetap pada 2 rel , yakni mendidik
dan mengajar. Mendidik melingkungi hati, jiwa, budi, olah rasa, karakter
tingkah laku. Sedangkan Mengajar lebih penekanan kepada fisik, pikiran,
otak, olah raga, karakter kecerdasan. Singkat kata mendidik adalah
membangun sisi batiniah peserta didik dan mengajar membangun sisi
jasmaniahnya.
Asumsi sederhana, peserta didik bisa jadi bertalenta cerdas pikiran
tapi tingkah lakunya merugikan masyarakat umum. Tawuran siswa, teroris,
hacker, Pembobol ATM, koruptor adalah contoh kasus yang kalau ditelisik
banyak dilakukan oleh orang-orang yang cerdas, orang yang kaya pikiran
tetapi miskin hati nurani. Mereka tidak bisa memilah dan memilih dengan
kendali hati terdalam. Solusi baginya adalah nalar logika atau pikiran.
Termasuk pengajaran agama dianggapnya hanya sebagai hukum halal dan
haram saja. Bagi mereka , kitab suci adalah kumpulan tekstual, padahal
ada sisi kontekstualnya.
Pada konteks mendidik inilah seorang guru berperan lebih luas, lebih
besar, lebih kompleks demi kebaikan karakter anak didiknya. Tentu hal
ini tidak bisa diukur dengan norma penilaian kuantitatif. Skop kebaikan
hati adalah abstrak dan tidak instan bahkan tidak bisa diukur dengan
pasti. Butuh waktu dan ketekunan dalam memperjuangkannya. Pencapaian
hasilnya pun justru didapat setelah anak didik tersebut telah lama
lulus dari sekolah. For a long time . Hal inilah yang tidak bisa direward pada jasa guru. Jadi benarlah bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
” Membangunkan rakyat dari gelap gulita , menjadi penerang anak
bangsa agar bisa membimbing melangkah kemuka adalah sesuatu yang
memerlukan komitmen tinggi , tanpa mengharap jasa!”
” Maka sadarlah bahwa kewajiban guru adalah mendidik dan mengajar
putra-putri Indonesia. Gurulah yang membangunkan jiwa agar tercipta
kekuatan negara sebab jika generasi kuat maka negara akan kuat! “
Seorang guru hendaklah memiliki kematangan pikiran dan emosi yang
cukup baik. Dengan pekerjaan sebagai bengkel perilaku manusia, pekerjaan
seorang guru bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Jika orang tua bisa
saja dibuat stres karena perilaku satu atau dua anaknya yang menyimpang
alias tidak bisa diatur, bagaimana dengan guru yang harus menangani
banyak anak? Dalam satu kelas seorang guru memiliki tanggung jawab
mendidik dan mengajar 30-40 anak. Dalam satu sekolah sudah ada ratusan
anak. Secara kuantitas guru memiliki tanggung jawab sangat besar untuk
mendidik anak-anak yang yang berasal dari latar belakang yang berbeda.
Jika dalam satu keluarga ada salah satu anak yang nakal, maka di
sekolah pun tidak luput dari perilaku anak yang juga menyimpang. Senakal
apapun perilaku anaknya, sangat jarang orang tua memiliki ‘dendam’
dengan anak-anaknya. Jika ada orang tua sampai dendam dengan anaknya
sendiri, bisa jadi orang tua tersebut memiliki kelainan pada dirinya.
Demikian juga dengan lingkungan sekolah, seorang guru seringkali cuma
‘geleng-geleng’ kepala ketika menemui murid yang nakal bahkan tidak
terbesit kata ‘dendam’ sama sekali dengan muridnya yang nakal. Nah,
bagaimana dengan Anda?
Guru atau semua pendidik adalah juga manusia. Diantara banyak
pendidik belum tentu memiliki pemikiran yang sama. Konon ada seorang
mahasiswa bercerita jika dia mengambil mata kuliah
dosen A, maka sulit baginya untuk bisa lulus. Hampir semua mata kuliah
yang diambilnya gagal. Usut asal usut ternyata sang dosen tersinggung
dengan pertanyaan mahasiswa tersebut yang terlalu sulit untuk dijawab
sehingga dia merasa dijatuhkan di depan mahasiswanya. Nah, sejak kasus
itulah sang dosen tidak lagi ramah dengan mahasiswa tersebut. Dampak
nyata yang terjadi adalah sang mahasiswa cerdas tersebut selalu gagal
ketika mengambil mata kuliah yang diampu sang dosen. Dendam telah
membuat hati dan pikiran sang dosen terkunci. Dendam telah membuat sang
dosen tidak lagi berpikir ilmiah.
Kemajuan teknologi dan akses belajar sangat memungkinkan siswa
memiliki pengetahuan jauh lebih luas dari gurunya sehingga siswa bisa
bertanya bahkan menyalahkan gurunya ketika sesuatu yang diajarkannya
tidak benar. Keluguan seorang anak atau siswa ketika bertanya atau
mengkritisi materi yang disampaikan guru bisa jadi membuat sang guru
tersinggung. Situasi seperti ini harus diantisipasi dengan baik oleh
seorang guru. Ingat seorang guru belum tentu selamanya benar. Seorang
guru bisa saja tersudut akibat kesalahan saat mengajar, sehingga dia
memerlukan tehnik khusus untuk menjaga reputasinya. Dendam pada siswa
bukanlah sifat seorang guru yang sejati.
Ketika seorang dosen mengajar, dari 12 mahasiswa di dalam kelas tersebut ada 6
orang membawa iPad dan lainnya dengan tablet atau laptop yang terhubung
dengan internet. Dengan bantuan Google, mahasiswa dengan cerdasnya
memverifikasi apa yang dosen sampaikan. Satu persatu pertanyaan cerdas
dan muncul dari mulut mahasiswa. Misalnya, mengapa ini seperti ini
menurut media A? Mengapa media B berbicara lain? Mana yang benar?
Situasi seperti ini tidak membuat dosen tersebut dendam dengan mereka yang kritis
dan cerdas, namun memacu belajar sebanyak mungkin materi sebelum
mengajar. Dosen tersebut memahami betul, musuh dia adalah Google yang sekali
mahasiswa ketik di kotak search atau pencarian ada jutaan informasi yang
muncul. Tugas dia adalah membantu mahasiswa untuk memahami informasi
yang mereka peroleh.
Dendam tidak selalu muncul dalam luapan emosi yang meluap-luap.
Dendam bisa terwujud dalam bentuk kebencian yang nyata dalam hati.
Perasaan tidak suka dengan salah satu anak didik itu wajar, karena guru
juga manusia. Namun. menciptakan dendam dalam hati bukanlah ciri khas
seorang pendidik yang sejati. Perasaan dendam sangat bertentangan dengan
tiga ajaran Ki Hadjar Dewantar di atas dan dan bukan cirikhas perilaku
guru yang luhur. Nah, apakah Anda termasuk guru pendendam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar