1. Peran Masyarakat dalam Peningkatan Kualitas Madrasah
Pada artikel tentang problematika pendidikan Islam telah dipaparkan
sejumlah fenomena penyelenggaraan pendidikan Islam dengan berbagai
problematika yang melingkupinya. Namun hal ini bukan tanpa peluang dan
potensi yang memungkinkan penyelenggaraan pendidikan bisa lebih bermutu.
Prof. Hargraves (dalam Tilaar, Kebijakan Pendidikan, 2009) menyatakan
bahwa ilmu pendidikan mandeg dan tidak berkembang karena tidak
mendapatkan input dari praktik pendidikan. Oleh sebab itulah ilmu
pendidikan termasuk pendidikan Islam hanya berada pada tataran
idealistik belaka tanpa teruji di lapangan. Dengan sendirinya banyak
kebijakan pendidikan di Indonesia bukan ditentukan oleh data dan
informasi di lapangan, tetapi berdasarkan subyektivitas karena
menggunakan epistema-epistema ilmu lainnya yang tidak relevan dengan
kebutuhan peserta didik.
Sejarah berdirinya madrasah seperti diketahui adalah lembaga pendidikan
yang lahir dari masyarakat. Inisiatif dan kemandirian disatu pihak,
kebersamaan dan partisipasi masyarakat dilain pihak merupakan ciri khas
munculnya madrasah. Pengakuan pemerintah atas munculnya madrasah
diejawantahkan dengan menegerikan madrasah. Sebenarnya dengan masuknya
Pemerintah sebagai "pemilik" madrasah negeri justeru dapat "mengekang"
prakarsa dan keterlibatan masyarakat. Madrasah yang pada awalnya lahir
didasarkan pada kepemilikan lingkungan di "akuisisi" pemerintah.
Sesuatu yang muncul atas prakarsa masyarakat (community based education)
tidak perlu diambil alih Pemerintah. Hal ini sejalan dengan pandangan
Tilaar dalam "Membenahi Pendidikan Nasional" (2009) bahwa pola
manajemen tunggal dengan menegerikan madrasah terkesan hanya berdasar
gengsi dan keinginan memperoleh subsidi semata. Sebaiknya, manajemen
tunggal diganti menjadi pola sembiotik yakni mengakui adanya pendidikan
Islam yang dikelola masyarakat, punya hak hidup dan saling kerjasama,
disisi lain harus ada otonomi pendidikan (school based management).
Sesuai dengan jiwa desentralisasi yang menyerap aspirasi dan
partisipasai masyarakat dalam pengembangan dan peningkatan kualitas
pendidikan, masyarakat dituntut untuk memiliki kepedulian yang tinggi
memperhatikan lembaga pendidikan yang berada di lingkungan setempat. Hal
ini dapat menumbuhkan sikap kepemilikan yang tinggi dengan memberikan
kontribusi baik dalam bidang material, kontrol manajemen, pembinaan,
serta bentuk partisipasi lain dalam rangka meningkatkan eksistensi
madrasah yang selanjutnya menjadi kebanggaan lingkungan setempat melalui
peningkatan kualitas penyelenggaraannya.
2. Penguatan Kompetensi Kepala Sekolah/Madrasah dan Guru
Pentingnya setiap lembaga pendidikan memiliki guru dan kepala sekolah
yang berkualitas seharusnya sudah menjadi kesadaran kita bersama. Jika
tujuan sistem pendidikan yang dirancang dan diarahkan untuk menciptakan
siswa (lulusan) yang berkualitas dan berprestasi tinggi (higher student achievement),
kita dengan dibantu data pendidikan tersedia seharusnya sudah dapat
mengidentifikasi unsur-unsur yang mampu mendukung/menopang pencapaian
tujuan tersebut. Perdebatan di kalangan masyarakat yang peduli
pendidikan tentang pentingnya guru yang efektif dalam menopang
pencapaian tujuan pendidikan sudah lama berlangsung, dan bahkan sejumlah
penelitian juga sudah banyak yang mengungkapkan tentang pengaruh guru
berkualitas terhadap keberhasilan pembelajaran siswa. Hanushek (1992),
misalnya, menemukan, "That students whose teachers are at the top of
the effectiveness range achieve as much as an additional year of growth
in student learning over those with teachers near the bottom of the
range - a gain of 1.5 years of academic growth as opposed to 0.5 years
of growth in a single year." Meskipun banyak hasil studi yang
mengungkapkan peran sentral guru dalam menunjang pencapaian tujuan
pendidikan (educational attainment), perhatian para
petinggi/pengelola kebijakan pendidikan pada tingkat pusat dan daerah
terhadap pembangunan kapasitas guru masih setengah hati. Oleh karena
itu, pemerintah sudah harus punya kebijakan tentang guru dan kepala
sekolah yang lebih komprehensif, jelas (clear), dan terukur ke
depan. Killion (2010) mengemukakan, "If there are strong policies in
place that set clear expectations, then there will be improved practice.
Standar kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kepribadian,
professional dan sosial. Dalam disiplin ilmu psikologi kompetensi
kepribadian dan sosial termasuk dalam kategori kompetensi emosional.
Kompetensi emosional mengarah pada kecakapan antar individu (personal skills) dan kecakapan sosial (social skills)
yang dapat mendukung kearah unjuk kerja terbaik. Kecerdasan emosional
adalah "engine" dari kompetensi emosional yang membuat individu mampu
mengenali secara akurat perasaan orang lain guna mengembangkan kecakapan
mempengaruhi (influence) dan berprestasi (Achievement drive).
Oleh karena itu untuk memprediksi unjuk kerja individu kita perlu
mengenal dan mengukur kompetensi emosional yang merupakan fondasi dari
kompetensi sosial, kepribadian termasuk soft skills.
3. Peningkatan Soft Skills Kepala Sekolah/Madrasah dan Guru
Penemuan/penelitian Daniel Goleman menghasilkan sebuah teori Emotional Intelligence atau
kecerdasan emosional yang dikaitkan dengan keberhasilan unjuk kerja
individu (Daniel Goleman, 1995, 1998, 2000). Penelitian berkaitan dengan
sejumlah penelitian sebelumnya dan merupakan kelanjutan penelitian
yang dilakukan oleh Bar-On, Mayer. Salovey & Carusso (Aries, 2006).
Konsep kecerdasan emosional diwujud nyatakan dalam bentuk kompetensi
emosional yang merupakan "engine" bagi pengembangan program-program
pelatihan bersifat soft skills (SS).
Kepiawaian seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain di tempat
kerja di ejahwantahkan dalam bentuk kerjasama yang efektif dan
produktif. Sebagai kepala sekolah dan guru kepiawaian berinteraksi
sangat penting, oleh karena itu pengembangan tenaga pendidikan
kedepannya mesti mengkaitkan programnya dengan hal ini.
Kecakapan pendukung atau SS tidak semata-mata berwujud kemampuan berkomunikasi secara langsung (verbal dan non verbal)
dengan orang lain, namun juga berupa kemampuan menampilkan diri secara
maksimal yang kemudian dapat "menular" kepada rekan sejawat, serta
memberi kesan positif kepada orang lain yang berinteraksi kerja
dengannya. Bahkan kekuatan SS niscaya bisa diperluas tidak hanya
bermanfaat untuk dunia usaha, tetapi juga bagi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara termasuk di dalam mengelola dan menjalankan
roda pemerintahan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa beragam
pekerjaan yang berhubungan dengan orang lain sesungguhnya membutuhkan
keterlibatan SS (T. Raka Joni, 2005: The Hard Case 4 Soft Skills
Penguasaan SS ini paling tidak dapat dilihat dari kepiawaian
seseorang menangani pekerjaan yang mengandung tiga unsur kecakapan.
Penampilan yang terlihat dari unsur pertama yakni: senantiasa
melakukan prakarsa (initiative), berkemauan keras untuk meraih prestasi (achievement drive), dan mudah untuk beradaptasi (adaptability).
Semakin kuat tampilan ketiga unsur kecakapan tersebut dimiliki utuh
oleh seseorang, semakin besar pula porsi keberhasilan unjuk kerjanya.
Memang tuntutan terhadap penguasaan SS berbeda-beda bergantung pada
jenis dan lingkungan pekerjaannya. Namun, tentunya hampir semua
pekerjaan dan tugas-tugas yang berhubungan dengan orang banyak sangat
membutuhkan kehadiran SS. Berbagai jabatan mulai dari guru, kepala
sekolah, dosen, kepala daerah, wakil rakyat, menteri hingga presiden
sekalipun adalah jabatan yang memiliki tuntutan penguasaan softskills
yang tinggi. SS juga penting bagi siswa, mahasiswa.
4. Penilaian Baku Kinerja Kepala Sekolah/Madrasah dan Guru
Hal lain adalah sistem penilaian unjuk kerja (performance appraisal system) untuk guru dan kepala sekolah perlu diberlakukan dengan kaidah SMART (sepesific, measurable, achieveable dan time bounded).
Kepiawaian guru dalam mengelola kelas dan kepala sekolah dalam
mengelola sumber-sumber daya pendiidkan baru dapat dikatakan sukses
apabila KPI atau indikator unjuk kerja kunci tersusun secara SMART.
jelas, transparan, terbuka dan fair. Tiadanya alat dan tolok ukur yang
pasti dan disepakati bersama atas keberhasilan unjuk kerja (KPI= Key Performance Indicator) membuat kesimpangsiuran atas tepat tidaknya proses (the how) dan hasil (the what)
unjuk kerja guru dan kepala sekolah. Sasaran kerja dibuat bersama
diawal tahun ajaran akademik oleh pengawas (Atasan langsung). Contoh
sasaran pencapaian yakni peningkatan penguasaan materi pelajaran (content knowledge) bahasa Inggris para guru madrasah dengan menggunakan TOEIC (test of english for international communication) dari semula dibawah skor 245 (setara elementary)
menjadi diatas skor 245 (intermediate). Sasaran dibuat secara individu
dan terdiri dari sejulah sasaran tujuan yang dispekati bersama.
Penilaian kinerja semacam ini akan mengukur dan menilai tingkat
keberhasilan kegiatan guru/kepala sekolah tidak hanya dari sisi hasil (the what) tetapi juga cara (the how) memperoleh hasil yang diperoleh, dibuat di lembaran-lembaran terpisah (what & how).
Proses dalam mencapai tujuan yang ditetapkan berkaitan dengan
nilai-nilai etika dan moralitas sebagai tenaga pendidikan dalam meraih
sasaran tujuan. Melalui sistem penilaian unjuk kerja guru dan kepala
sekolah paling tidak kita akan mampu menilai seoramg guru atau kepala
sekolah itu efektif, berhasil atau tidak, dapat diterima secara lebih
obyektif, karena memiliki patokan yang disepakati bersama. Dengan
demikian diharapkan guru/kepala sekolah akan bekerja keras berdasarkan
acuan sistem penilaian unjuk kerja yang baku. Dengan begitu kerja guru
dan kepala sekolah akan lebih terpantau dengan baik.
Kepala sekolah dan jajarannya dituntut untuk bekerja dengan "smart"
melalui sasaran yang telah disepakati. Kepala sekolah sukses adalah ia
yang mampu merubah potensi sumber daya yang dimiliki sekolah/madrasah
menjadikannya sebagai suatu kenyataan agar tercapai tujuan yang
ditetapkan bersama. Setiap individu pemangku kepentingan di
sekolah/madrasah akan mengacu pada pemberlakuan penilaian kinerja yang
memiliki sasaran SMART terbuka, jelas dan transparan. Melalui sistem
penilaian seperti ini subyektivitas dapat diminimalkan.
KESIMPULAN
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسُُ مَّاقَدَّمَتْ
لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan (Al Qur'an Surat Al Hasyr: 18).
Kandungan hikmah dan makna yang dapat kita peroleh dari ayat 18 Surat
Al Hasyr itu agar umat Islam sebagai kaum yanmg beriman sungguh-sungguh
meningkatkan kualitas karya dan kerjanya dalam mengisi kehidupan di
dunia ini. Dari waktu-ke waktu unjuk kerja umat Islam mesti semakin baik
dengan terus meningkatkan nilai takwa kepa sang Pencipta Allah SWT.
Apa yang kita kerjakan bahkan sekecil apapun Allah akan mengetahuinya
dan apabila kerja dan karya kita diyakini sebagai bentuk amal ibadah
niscaya akan sangat bermanfaat bagi upaya meraih kebahagiaan di akherat
kelak.
Islam mengajarkan kita sebagai umat beriman untuk melaksanakan
kehidupan yang di anugerahkan Allah ini dengan penuh kredibilitas dan
tangguing jawab. Setiap pekerjaan yang dilakukan di dunia ini
semestinya mengandung unsur-unsur kebajikan yang bermanfaat tidak hanya
bagi diri kita sendiri tetapi juga bagi manusia dan lingkungannya.
Salah satu kegiatan kebajikan yang memiliki nilai-nilai kebajikan luhur
itu adalah penyelenggaraan pendidikan.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukandirinya, masyarakat, bangsa dan Negara
(Pasal 1 UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003). Untaian
kata-kata dalam definisi pendidikan yang dicatumkan dalam UU RI ini
cukup mengindikasikan peran serta umat Islam dalam menformulasikan makna
dari pendidikan itu di Negara kita ini. Sehingga, jika mengacu pada
pengertian pendidikan diatas, maka semestinya pendidikan diselenggarakan
dengan memerhatikan nilai-nilai keagamaan yang diejawanthkan dalam
perilaku akhlak yang mulia.
Akhirnya, ikhtisar yang dapat disusun dari ulasan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan Islam diarahkan pada sikap dan tingkah laku individu
dengan menanamkan nilai-nilai Islam dalam proses pertumbuhannya menuju
terbentuknya kepribadian yang berakhlak mulia, Dimana akhlak yang mulia
adalah merupakan hasil pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan
sehari-hari sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Oleh sebab itu individu yang memiliki akhlak mulia menjadi sangat
penting keberadaannya sebagai cerminan dari terlaksananya pendidikan
Islam.
2. Sumbangsih dunia Islam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan tidak diragukan lagi
3. Kelemahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan
agama di sekolah-sekolah umum akut dan faktual Fenomena keterbatasan
penyelenggaraan pendidikan Islam bersifat filosofis dan teknis praktis
metodologis yang saling kait mengkait. Contoh persoalan dikotomi yang
masih merebak. Secara praksis misalnya adalah alokasi waktu yang kurang
memadai dan isi kurikulum yang terlalu syarat. Di samping itu, sarana
dan lingkungan sekolah sering tidak menunjang pelaksanaan pendidikan
agama.
4. Program-program pengembangan profesionalisme dan penguatan
kompetensi guru dan kepala sekolah perlu terus menerus di disain dan
dikembangkan dengan menaruh perhatian tidak hanya metode dan penguasaan
materi ajar tetapi dilengkapi program pengembangan kecerdasan emosional
para tenaga pendidikan tersebut. Softskills sebagai kecakapan penting
bagi kesuksesan unjuk kerja guru, kepala sekolah bahkan juga bagi
siswa/mahasiswa perlu didisain dan ditumbuh kembangkan secara sistemik
dan terarah dalam program-program pengembangannya
5. Kebijakan Pemerintah kerapkali tidak sejalan dengan berbagai konsep
dan teori kebijakan pendidikan itu sendiri. Menegerikan madrasah
merupakan contoh mementahkan konsep pendekatan pola manajemen sembiotik
menjadi pola manajemen tunggal. Padahal, madrasah lahir dari prakarsa
dan peran serta masyarakat sebagai pemangku kepentingan.
6. Sistem penilaian kinerja guru dan kepala sekolah/madrasah (tenaga
pendidikan) perlu dibakukan dengan mengikuti kaidah SMART yang jelas,
transparan, terbuka dan fair.
7. Pengelolaan dana pendidikan yang senantiasa mengacu pada cost
effectiveness dan sinergi antara efektivitas dan efisiensi perlu terus
ditnama-suburkan dilingkung sekolah sebagaimana juga dalam upaya
mengubah paradigma komersialisasi di dunia pendidikan menuju
entrepreneurial characters perlu diejawantahkan secara nyata didudkung
SS.
Lihat Samsir Alam, artikel Guru dan Kualitas Pembelajaran Siswa, Media Indonesia, edisi 1 November 2010
Lihat Aries Musnandar (2006) Proposal Disertasi Psikologi Pendidikan, PPs Universitas Negeri Malang
Lihat Aries Musnandar, Kembangkan Softskills Cetak Prestasi, Rubrik Opini, Bisnis Indonesia, edisi 14 Maret 2010.
Lihat lebih jauh pada Aries Musnandar (2010), Perlunya Pembakuan
Penilaian Kinerja Presiden, Rubrik Opini, Bisnis Indonesia, edisi
12-12-2010 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar